MERAWAT AKAR
Semalam, saya mengisi waktu dengan mengobrol bersama rekan saya. Sengaja tidak disebutkan siapa namanya, tapi saya yakin, ketika dia membaca tulisan ini, dia akan kepedean. Karena pasalnya, tulisan ini lahir dari hasil kita merawat pertemanan dengan cara ngobrol secara dalam. Sebenarnya sih tidak terlalu dalam, tapi saya percaya bahwa kualitas pertemuan dan percakapan itu ada pada esensi dan isinya, selagi ada insight, pelajaran, dan sesuatu hal yang bisa diambil, sebercanda dan sesingkat apapun pertemuan maupun percakapan, dia akan tetap berkualitas.
Meski semalam terkendala sinyal, baru beberapa menit mati maupun menyambungkan ulang, membuat saya berpikir bahwa kalau semisal saya memiliki pasangan LDR, mungkin setiap malam kita akan berdebat, bukan debat menyoal isu perempuan atau perpedaan pendapat terkait ketimpangan sosial, melainkan debat karena sinyal, haha menyedihkan sekali sepertinya. Eits, tapi itu hanya selingan, jadi meski terkendala sinyal, isi dari percakapan saya dan rekan saya masih jelas terekam dan tergambar.
Jadi, obrolan kita itu terfokus merefleksi kinerja kita selama masih dalam wadah yang sama, wadah yang hari ini menjadi tempat tinggal kita, jika tidak berlebihan saya akan mengatakan bahwa wadah itu menjadi rumah kedua untuk kita. Karena sejujurnya, kita sering memikirkan wadah itu paling tidak 2 menit setiap harinya. Kadang bahkan lebih dari 2 menit, lebih sering ke satu hari memikirkan, sih, hehe.
Kita memulai dari saling mengoreksi kinerja, sebenarnya berawal dari keminderan salah satu dari kami yang merasa gagal menjalankan roda tanggung jawab yang sedang diemban, meski tidak dibarengi dengan isak tangis, tapi obrolan itu bernada sedih, walaupun kita sama-sama gengsi untuk berkata soal itu. Atau jangan-jangan, aku yang terlalu GR untuk bilang bahwa sesi semalam adalah sesi sedih bin haru.
Setelah beberapa menit saling bermuhasabah diri, kita menyimpulkan bahwa dalam wadah yang tengah kita singgahi hari ini adalah pentingnya transfer of value dan transfer of knowledge, hal yang membuat ku merasa ditenangkan adalah "bahwa meski secara permukaan ada yang terlihat dekat, tapi belum tentu kedekatan itu ada kualitasnya, ada isinya, dan ada pola pendidikannya." Bukan berarti kita mengklaim hal itu, ya. Tapi lebih ke tidak perlu melihat sesuatu sebatas permukaan aja gitu.
Ya meskipun kita tidak menampik dan membangun tameng diri membela kita masing-masing, tapi kita menyadari bahwa dalam wadah ini tidak hanya soal dekat, merangkul, berdampingan, melainkan juga soal membuat pola, merancang hal-hal yang berkaitan dengan tupoksiku, menguatkan akar, dan ya ada banyak hal yang perlu diselesaikan. Meski tetap saja, soal kedekatan juga menjadi hal penting untuk menjadi bahan pemikiran.
Lagi-lagi, kita juga menyadari bahwa kita juga tentu belum maksimal, ya kita tetap menerima kalau kritik dan saran memang harus diterima, dan sejujurnya kita mengupayakan untuk siap menerima apapun kritikan dan saran. Intinya legowo dan tenang, seharusnya, sih.
Sekarang, hal yang menjadi PR adalah bagaimana dengan kuantitas kedekatan itu bisa melahirkan kualitas yang benar-benar kuat akarnya, kokoh batangnya, meneduhkan melalui rimbunnya daun, dan manis buahnya. Jika selama ini permasalahannya ada pada cara, itu hanya soal teknis yang bisa diubah. Mulai hari ini, kita pikirkan cara yang efektif untuk mendekati.
Temanku, mari kita berpikir.