TINGGI NAMUN TIDAK MENINGGI
Setelah menyelesaikan gelar sarjana di Univeristas Muhammadiyah Metro, aku melanjutkan berkarya di SD Aisyiyah Metro. Sengaja aku menyebutnya dengan berkarya bukan bekerja, sebab bagiku, sebutan bekerja itu lebih dominan ke arah untuk finansial semata, tetapi jika berkarya, fokus kita adalah untuk menghasilkan sesuatu yang tidak hanya sekedar berdampak untuk diri kita sendiri, melainkan berdampak untuk orang lain.
Mungkin beberapa orang beranggapan bahwa berkarya itu harus menghasilkan sesuatu, semisal penulis karyanya adalah buku. Penggiat seni karyanya berupa lukisan, musik, atau bisa berkarya sesuatu hal lain yang bisa dilihat. Lantas, berkarya di lembaga pendidikan itu akan mengeluarkan karya berupa apa? Karya yang dihasilkan bagiku adalah siswa. Kita sedang membentuk siswa dan memoles siswa agar mereka siap menjadi siswa yang mampu berkontribusi dan menghadapi hiruk pikuk dunia yang melelahkan dengan tetap memiliki kuatnya pijakan.
Karya itu memang tidak terlihat dalam waktu yang singkat, membutuhkan waktu yang panjang dan proses yang rumit, tetapi bayangkan saja ketika satu siswa berhasil kita hantarkan menjadi seorang manusia yang kokoh tauhidnya, luas dan lapang hatinya, kuat fisiknya, bijak pemikirannya, serta lues dalam berkehidupan, itu akan menjadi karya yang luar biasa bagi kita. Itulah kenapa saya menyebutnya, saya sedang berkarya.
Terhitung hampir empat bulan saya menghabiskan waktu di SD Aisyiyah Metro, saya mengenal beragam guru dengan latar belakang keilmuan yang berbeda, potensi siswa yang juga tidak sama antara satu siswa dengan lainnya, juga keragaman masyarakat sekitar sekolah. Ada yang lembut, ada yang kalau berbicara memakai nada tinggi, ada yang cekatan, juga ada yang leletan, ada yang teladan juga ada yang telat dan lain-lain. Ya pokoknya sikap dan sifatnya bak Indonesia kecil.
Sejauh saya berkarya di SD Aisyiyah Metro, ada satu hal yang menarik perhatian. Hampir setiap pagi, saya melihat pemandangan yang mungkin jarang saya saksikan di sekolah lainnya. Adalah Kepala Sekolah yang memberikan tauladan melalui sikap nyatanya. Sebut saja Pak Zaenal Abidin, dia adalah Kepala Sekolah yang menurut saya sangat rendah hati. Kebijaksanaannya, ketangguhannya, kesederhanaannya, dan sikap baik lainnya. Beliau setiap pagi membantu kami membersihkan sekolah. Kadang beliau mengepel kelas dan gedung baru. Seringnya beliau menyapu halaman. Bahkan dulu waktu buah nagkada di sekolah masih buah, beliau memanjat sendiri untuk sekedar mengambil 1 buah saja.
Pernah juga beliau membukakan buah nagkadak yang ternyata isinya hanya 1 biji, alhasil saya yang memakan 1 biji itu. Sebenarnya masih banyak hal yang dilakukan oleh beliau, yang kadang menurut saya justru hal seperti itu yang memukau. Bagaimana tidak, banyak orang diluar sana yang memiliki jabatan tinggi dan menunggangi jabatan itu untuk meninggi, pun banyak sekali orang-orang yang memiliki amanah berupa kedudukan di level kepemimpinan, tapi tidak amanah dalam kepemimpinan tersebut. Dan tidak banyak juga orang-orang yang memiliki jabatan mampu berlaku sebagaimana apa yang dilakukan oleh Kepala Sekolah saya.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang memimpin itu ternyata butuh proses dan waktu yang lama. Dia harus kuat dan kokoh, agar jabatan yang sedang diemban tidak disalahgunakan. Akhir kata, saya hanya ingin menyampaikan bahwa dalam beberapa hal, saya kagum dengan beliau.