Dunia dan Keanehan Isinya
Sore ini aku dibuat terperanjak melihat berita yang muncul di linimasa, kasus pemerkosaan. Hal yang membuatku tidak habis pikir dari kasus itu bahwa korbannya adalah seorang bocah perempuan yang masih TK, dan yang membuat tidak habis pikir adalah pelaku masih duduk dibangku SD. Serius, miris banget kalau baca berita.
Kalis Mardiasih dalam buku Sister Fillah, You’ll Never be Alone menuliskan bahwa tubuh perempuan bukan sekedar mesin produksi. Ia butuh jeda agar kondisi fisik, mental dan spiritualnya selalu stabil. Kutipan itu hadir dalam konteks bab relasi antara laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, artinya dari segi umur sistem reproduksinya sudah mencukupi. Perempuan yang sudah matang saja dibela dengan kalimat ya butuh jeda untuk melakukan hubungan seksual, karena perlu stabil. Lah apalagi bocah TK yang ibaratnya, yaAllah, aku tuh beneran tidak habis pikir dengan isi kepala orang-orang.
Tentu kita tidak mengetahui pola pendidikan seperti apa yang dialami oleh pelaku, jadi pelakunya ada 3 bocah yang masih usia 8 tahun. Usia 8 itu ya anak kelas 3an lah, iya 3 SD. Entah latar belakang apa yang mendorong ketiga bocah SD itu bisa memiliki pemikiran memperkosa teman sepermainannya yang masih TK. Apakah pengaruh tontonan dunia maya? Atau mungkin lingkungannya? Atau banyak faktor yang menjadi penyebab kemungkinan peristiwa itu terjadi. Tapi sungguh sih miris.
Kasus-kasus seperti ini dalam kacamata pendidikan, harusnya menjadi sebuah alarm bahwa ada suatu kegagalan dalam sistem pendidikan. Dalam buku Psikologi Pendidikan, salah satu tokoh pendidikan yaitu Thomson mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perilaku seseorang itu tidak hanya dilihat dari keturunan atau dasar, melainkan tergantung kepada pendidikan.
Jika kita berkaca pada tujuan pendidikan yang tertuang dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003, ada 10 nilai yang ingin dicapai oleh pendidikan; beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab. Dari pandangan hukum saja, pendidikan diarahkan untuk lebih menekankan aspek karakter. Lantas, apakah sistem pendidikan kita sudah aware untuk memperbaiki jalannya pendidikan agar tujuan yang tertuang itu bisa tercapai?
Kalau kita mengamati dengan kacamata Paulo Freire bahwa ada jenjang kesadaran seorang manusia, tingkat ketiga adalah kesadaran kritis. Bahwa semua yang terjadi adalah karena sistem. Jika ada yang beranggapan bahwa kejadian pemerkosaan itu adalah takdir, maka tingkat kesadarannya masih ditahap magis. Naik tingkat lagi menjadi kesadaran naif, bisa jadi beranggapan terjadi karena kurangnya pendampingan orang tua. Tapi jika kita lihat lebih luas, jangan-jangan degradasi moral ini terjadi karena ada sebuah kekuatan sistem yang tidak diorientasikan untuk perbaikan masyarakatnya.
Kita kan sebenarnya secara teori sudah punya kekuatan. Bahwa pendidikan itu setidaknya bisa membentuk lulusan yang memiliki 10 nilai yang tertuang di dalam Undang-undang tersebut. Jika banyak degradasi atau penyelewengan yang terjadi, artinya ada yang salah dalam menerapkan proses mencapai nilai itu.
Atau kita mau menyalahkan kemajuan zaman? Zaman itu mau disalahkan atau tidak, bukankah dia akan tetap berkembang dan bergerak, dinamis.
Aku selalu memegang kalimat yang ditulis dalam buku Negeri Statistik, “Seseorang dapat berteduh hari ini karena ada seseorang yang menanam pohon lama sebelumnya.” Sebenarnya generasi kita akan baik selanjutnya, ketika hari ini kita mau sedikit bersabar memperbaiki sistem pendidikannya. Atau, mereka khawatir ketika memperbaiki sistem pendidikan justru akan menghabiskan banyak anggaran? Tapi bukankan Sumber Daya Manusia yang terbentuk nantinya justru akan bisa menjadi investasi yang baik juga, ya?
Sungguh, berita hari ini justru membuatku selain miris, juga membuatku berpikir apa sih yang salah dari semuanya?