Peradaban Perempuan; Aku, kakak dan Cici

Peradaban Perempuan; Aku, kakak dan Cici

Kali ini, aku tidak ingin membahas hal-hal yang agak serius, tapi aku lebih ingin membagi momen bahagiaku bersama kakak, Cici dan Arumi yang juga akan aku kaitkan dengan peradaban perempuan. Terhitung satu bulan lebih kami saling mengenal, kakak yang sedang duduk dibangku kelas 3, Cici menempuh pendidikan formal di kelas 1 dan Arumi yang masih berusia 2 tahunan tapi sudah luar biasa kecerdasannya.

Sepekan yang lalu, kami tidak bertemu. Kebetulan kakak sedang ada acara di Thailand dan Malaysia, jadi pertemuan kami diliburkan. Sepekan ini, kami kembali bertemu. Dan sungguh, aku menemukan titik perbedaan antara pekan kemarin dan pekan ini. Mungkin, seorang teman yang intens berkomunikasi denganku akan ngeh, karena pekan kemarin aku habiskan dengan curhat sedih wkwk. 

Tapi, pekan ini aku seperti mendapat semangat baru ketika bertemu dengan mereka. Seperti bahagia dan enjoy menjalani hidup. Hal yang aku sadari adalah ternyata pekan kemarin karena aku bingung harus mengisi aktivitas sepulang selolah dengan kegiatan apa, maka hal itu membuatku seperti sedih, galau, dan bingung harus ngapain. Beda dengan pekan ini, yang mana sepulang sekolah aku mendapat energi dari mereka. Dari kakak yang suka cerita, dari Cici yang cerita dan kritis sering bertanya, dan dari Arumi yang selalu happy.


Bertemu mereka adalah nikmat yang luar biasa, seingatku selama aku dengan mereka aku tidak pernah memiliki energi lelah. Kehadiran mereka bagaikan seteguk air disaat aku sedang terpuruknya, jadi aku menyimpulkan bahwa skenario pertemuanku dengan mereka adalah isyarat Allah bahwa harapan-harapan semangatku masih ada.

Selain itu, dengan mereka aku merasa disayangi. Jadi ceritanya, setelah kakak pulang ke Indonesia, kakak memberiku oleh-oleh. Sebelum keberangkatannya, kakak hanya izin akan ke Thailand dan Malaysia, aku mengizinkan ya seperti biasa, tanpa embel-embel minta oleh-oleh. Tapi, sepulangnya kakak, ternyata selama di sana kakak masih ingat denganku. Duhh, hal sekecil itu adalah sesuatu yang membuat kita berharga.


Aku pernah dinasehati oleh seorang guruku, “Hukum sunatllah itu mengajarkan bahwa kejadian itu ibarat cermin, jadi teganya orang lain kepada kita mungkin disebabkan karena kita yang juga super tega.” Kalimat itu menyadarkanku tentang hukum yang berlaku juga untuk kesebalikannya. Bahwa kalau orang lain mencintai kita, itu karena kita juga mencintai mereka.

Dalam hal ini, kakak dan cici telah mengajarkanku makna merawat peradaban. Kita tidak bisa terus menerus mengutuki degradasi moral yang terjadi hari ini, kita sudah cukup bicara soal penyimpangan anak-anak. Dan mungkin, salah satu solusinya adalah memotong rantai degradasi dan penyimpangan itu dengan merawat tunas baru dengan baik, dengan cinta, ketulusan, waktu, jiwa sepenuhnya. Mereka adalah tunas yang harus dirawat dengan value yang baik, dan aku memahami bahwa untuk membentuk peradaban yang baik bisa dimulai dari pintu penananaman karakter yang baik, dalam hal ini kita kerucutkan pada perempuan. Karena Cici dan kakak adalah perempuan.

Dalam buku Sister Fillah; You’ll never be Alone, Kalis Mardiasih menuliskan bahwa Dapur yang membebaskan adalah dapur sebagai lumbung pengetahuan perempuan. Jika aku kontekstualisasikan, bahwa peradaban perempuan tidak hanya berakhir pada dapur. Tapi, nilai-nilai yang sudah dirawat diharapkan mampu menghantarkan perempuan hebatku hari ini ke titik akhir pengetahuan; kebijaksanaan.

Kak, Ci, terimakasih. Hiduplah dengan bahagia, dan belajarlah dengan bahagia. Kalian adalah harapan-harapan peradaban yang kelak akan berkontribusi dalam kehidupan dengan cara yang kalian suka dan mau. Hiduplah dengan bijak. Tumbuhlah menjadi pohon yang baik dan terimakasih karena dalam pertumbuhan kalian, aku turut berkontribusi.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url