Perempuan dalam Jeratan Kapitalisme
Beberapa hari yang lalu, saat saya iseng main malam di jalanan bersama rekan saya, dia menyampaikan analisanya bahwa menurutnya di Kota ini akan segera terbangun bioskop dan me*di. Analisa itu ia sampaikan karena melihat pesatnya kemajuan di kota ini yang sepertinya memang ingin fokus membangun peradaban kapitalisme. Aku mengangguk setuju, walaupun entah benar apakah hal itu akan terwujud di kota ini.
Sebulan kemudian, tepatnya kemarin, saya pergi dengannya kembali, menonton pasar malam. Di jalan, kami dikagetkan dengan adanya bangunan yang sudah berdiri kokoh dan siap grand opening. Dia sontok melayangkan kecurigaannya, “Jangan-jangan kamu ngga tau ya kalau akan ada me*di?” Dan benar saja, setiap hari melintasi jalan itu, tapi saya baru sadar kalau di situ akan dibangun me*di. Benar-benar kota yang akan menjadi kota, segalanya ada. Tinggal nunggu ada bioskopnya saja.
Menanggapi pernyataan temanku tersebut aku lantas bepikir, benar ya kota ini akan menjadi peradaban kapitalisme. Aku sangat berharap di kota ini ada gramedia, tapi baru bertahan sepekan, sudah langsung tutup. Sekarang justru di kota ini banyak tempat nongki yang ya ini pasti akan jadi orientasi anak muda untuk bergaya. Dan, apakah ini menjadi awal kita akan terjerat dengan pusaran kapitalisme?
Sebagai perempuan yang kerap latah dan cenderung konsumtif, tentu hadirnya gerai-gerai kelas atas itu bisa menjadikan perempuan terjerat dalam pusaran kapitalisme. Tidak perlu jauh-jauh, hari ini perempuan juga sudah kerap menjadi komoditas dalam suatu ajang promosi. Selain bisa menjadi objek sasaran untuk terpikat, perempuan juga dihadapkan dengan posisi subjek yang akan memikat.
Disadari atau tidak, bisa jadi sebenarnya kita telah terpapar oleh virus kapitalisme. Sistem yang memelihara kondisi lingkungan materialistik dan konsumtif, agar sistem ini tetap bertahan salah satu upayanya adalah meluncurkan serangan propaganda di berbagai media. Contohnya, kita digiring untuk bersepakat bahwa perempuan cantik adalah yang seperti digambarkan dan terpampang di iklan. Ini yang kemudian membuat perempuan berbondong-bondong membeli produk itu dengan orientasi agar diakui menjadi perempuan cantik. Orientasinya beda ya antara konsumtif dan memang sengaja merawat diri sebagai bentuk bersyukur.
Salah satu contoh tersebut dan berdirinya bangunan-bangunan yang mungkin akan menggeser kebiasaan kita, bisa jadi berpengaruh pada orientasi makna bahagia. Bahwa tidak menutup kemungkinan, ditengah kondisi yang begini, taraf kebahagiaan ukurannya adalah cuan, jabatan, kedudukan, dan yang sifatnya materialistik demi memenuhi kebutuhan konsumtif yang itu akan menambah langgengnya praktik kapitalisme.
Tumbuhnya teknologi yang semakin canggih juga membuat kapitalisme semakin berdiri tegak dipuncak kejayaannya. Kapitalisme lebih jadi mudah menemukan jembatan untuk menggeruk keuntungan-keuntungan.
Intinya, kita harus membentengi diri kita untuk tidak reaktif dalam menanggapi sesuatu dan dalam mengkonsumsi apapun. Lebih ke menimbang dan merumuskan fungsi dan kebutuhan gitu. Walaupun nanti aku akan tetap memutuskan mencoba pergi ke me*di yang akan segera dibuka hahaha, tapi itu sebagai bagian dariku menganalisa dengan masuk kedalamnya.