Perempuan dan Stigma Masyarakat
Melanjutkan pembahasan tentang teladan sosok muslimah yang patut diteladani pada tulisan sebelumnya yaitu Maryam yang mengajarkan perempuan untuk menjaga kesuciannya, maka ada tanggapan lantas bagaimana kedudukan perempuan yang mohon maaf kehilangan kesuciannya, baik karena hal yang sengaja maupun tidak sengaja. Apakah posisi perempuan yang dirinya terlanjur terenggut harga dirinya menempati kedudukan yang marjinal?
Stigma masyarakat kebanyakan masih menempatkan harga diri perempuan terletak pada kemampuan dirinya menjaga keperawanannya (maaf ya bahasanya agak terbuka), padahal mengutip kalimat Farid Esack yang memaparkan urusan kemanusiaan itu tidak mengenal agamanya apa dan sukunya apa, karena sejatinya manusia sejak lahir ke dunia sudah terikat perjanjian kepada Tuhan (ini dapat pencerahan dari temen).
Kalimat Farid Esack itu yang seharunya menjadi penyadaran bahwa ketika kita berinteraksi dengan seseorang, kita tidak perlu memandang dia dengan pengalaman biologisnya yang kita sendiri juga tidak tahu perjalanan apa yang kemudian mereka tempuh untuk kembali mempercayai dirinya sendiri dan tidak menyalahkan diri.
Senada dalam kalimat yang tertuang pada buku Nalar Kritis Muslimah, bahwa untuk mencapai kesetaraan gender, seharusnya kita dalam melihat pengalaman biologis perempuan, bukan sebagai hal untuk merendahkan perempuan. Jadi di sini, perempuan tetap berhak memperoleh akses publik, bagaimanapun masalalunya. Selain itu, perempuan yang secara sengaja atau tidak sengaja mendapat pengalaman biologis sebelum menikah, tetap berhak mendapat uluran dan pandangan positif dari masyarakat. Karena setiap orang, termasuk perempuan pasti memiliki masa lalu. Mungkin, dalam kasus yang disengaja, perempuan memilih keputusan yang salah. Tapi, siapapun punya hak untuk memperbaiki apapun dalam hidupnya.
Dalam perspektif agamapun, Islam tidak pernah menempatkan perempuan yang kehilangan keperawanannya atau memilih jalan yang salah ke dalam posisi tertindas, justru tafsir masyarakat sendiri yang memojokkan perempuan dengan latar belakangnya terkhusus pengalaman biologisnya. Perempuan itu tetap akan dipandang baik oleh Allah, meskipun dalam tataran akibat tentu dia tetap akan memperoleh akibat dari perbuatannya itu. Akan tetapi, dia tidak dipandang kotor. Hal yang terpenting adalah dia kemudian bertaubat dan menjaga kesuciannya dari lelaki yang bukan mahram.
Pada akhirnya, kita tetap berhak memperoleh akses dihargai di masyarakat apapun pengalaman buruk yang telah kita tempuh dalam perjalanan. Jadi, perempuan yang mungkin mohon maaf diluar sana merasa telah kehilangan harga dirinya, percayalah bahwa kamu tetap bisa istimewa.