Perempuan Sumber Fitnah?
Hari ini gak sengaja baca Alquran surah Al-Hujarat ayat 13, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah ciptakan kalian semua dari laki-laki dan perempuan, lalu Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kalian mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah itu Maha Tau dan Maha Mengerti.”
Aku seketika mengkorelasikan ayat tersebut dengan pengalamanku yang pernah datang kajian dulu sewaktu masih aktif menjadi anak organisasi wkwk, di salah satu kajian yang aku datangi sedang membahas perihal feminisme. Kalau dipikir-pikir, dulu ketika aku kuliah ternyata udah terpapar kajian yang agak berat ya. Kita kesampingkan dulu itu, jadi pemateri kajian itu menyampaikan bahwa baik laki-laki dan perempuan itu memiliki potensi yang sama, bahkan dalam berbuat dosa, keduanya memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan dosa, sebab itu Allah menegaskan bahwa yang membedakan kita dihadapan Allah itu ya kadar ketaqwaannya, bukan pasal kamu laki atau perempuan.
Lantas, jika perempuan dan laki-laki disebutkan memiliki kemungkinan yang sama untuk berbuat baik maupun maksiat, kenapa ada hadist yang mengungkapkan bahwa perempuan adalah sumber fitnah? Apakah lelaki juga tidak berpotensi untuk menjadi sumber fitnah?
Kalau dalam buku Perempuan (bukan) sumber fitnah, dijelaskan bahwa fitnah yang di sini diartikan sebagai pesona atau potensi seseorang yang menggiurkan dan menggoda orang lain. Disebutkan lebih lanjut lagi bahwa seseorang bisa disebut fitnah apabila ia penuh dengan sesuatu yang memesona oranglain, terutama karena kemolekan tubuhnya.
Dari pengertian tersebut, beberapa pendapat mengklaim bahwa yang memiliki potensi pesona hanya dilekatkan kepada perempuan, hal ini yang kemudian bisa menghambat perempuan untuk bisa memperoleh kesempatan dan kebermanfaatan di publik.
Mayoritas masyarakat memang masih ada yang menganggap bahwa tubuh perempuan tidak boleh berkeliaran bebas dalam ruang publik. Seksualitas perempuan hanya dapat diekspresikan dalam ranah domestik. Pemahaman akibat stereotip perempuan sumber fitnah, menjadikan perempuan tidak boleh keluar rumah terkecuali didampingi oleh mahramnya. Oleh karena itu, pandangan ini kemudian dikonstruksikan bahwa kriteria perempuan shalihah adalah perempuan yang bisa mengecilkan potensi-potensi fitnah dihadapan masyarakat.
Kalau perempuan dibatasi dengan ranah domestik agar keluar dengan mahramnya, bagaimana denganku yang masih sendiri wkwk. Bagaimana dengan perempuan yang lajang tapi sudah harus menjadi tulang punggung keluarga? Atau bagaimana dengan perempuan yang ternyata akses pendidikannya jauh untuk dijangkau.
Nah, maka dari itu dalam buku Perempuan (bukan) Sumber Fitnah ditegaskan bahwa kelelakian tidak menambah kemuliaan dan keperempuanan tidak mengurangi keutamaan. Satu-satunya tolak ukur amal dan kiprah seseorang adalah ketaqwaan. Dalam hal ini yang perlu diketahui bahwa laki-laki juga berpotensi menjadi sumber fitnah layaknya perempuan.
Nasihat Faqihuddin Abdul Qodir dalam masalah ini adalah, “Teks yang berbicara tentang fitnah seharusnya dipahami sebagai peringatan bersama. Laki-laki dan perempuan untuk sama-sama menjaga diri agar terus menjadi insan yang berakhlak mulia, terjauhkan dari segala dosa dan kejahatan terhadap orang lain, serta berkomitmen untuk menjadi manusia yang dapat memberikan kebaikan semaksimal mungkin kepada orang lain.”
Kalau kata rekanku si bapak tafsir mengatakan, yang seharusnya dipermasalahkan itu bukan keotentikan Alquran atau hadist, tapi penafsiran para ulamaa itu yg cenderung bias. Pada intinya, tidak hanya perempuan saja yang bisa menjadi sumber fitnah, melainkan laki-laki juga memiliki potensi yang sama.